Selasa, 08 Oktober 2013

PEMERIKSAAN HEMATOLOGI RUTIN


Pemeriksaan darah rutin adalah beberapa macam pemeriksaan hematologi yang di anggap dasar atau atau awal dari pemeriksaan selanjutnya yang belum dapat di pakai untuk menegakkan diagnosa. a.LED (laju endap darah)
Metode : westergren prinsip : Darah + antikoagulan Na.citrat 3,8 %, homogenkan. masukkan ke dalam pipet westergren selama 1 jam, kemudian baca lapisan plasma darah. cara kerja : ambil darah sebanyak 1,6 ml dengan menggunakan spuit tambahkan Na.citrat 3,8 % sebanyak 0,4 ml. homogenkan. masukkan kedalam pipet westergren, letakkan secara vertikal biarkan selama 1 jam baca tinggi lapisan plasma. nilai normal : laki - laki = 0-10 mm/jam perempuan = 0-15 mm/jam
b.Haemoglobin(Hb)
Metode : sahli prinsip : darah + larutan HCL 0,1 N akan terbentuk hematin asam yang berwarna coklat tua. warna tersebut di tambahkan aquadest, hingga warnaya sama dengan warna pada batang standart. cara kerja : isi tabung sahli dengan larutan HCL 0,1 N sampai angka 2 g %. hisaplah darah dengan pipet sahli sampai tepat pada tanda 20 cmm/ 0,02 ml. bersihkan bagian luar pipet dengan kapas/tissue kering tiup darah dari pipet ke dalam larutan HCL 0,1 N dalam tabung sahli. bilas pipet sahli beberapa kali dengan larutan HCL dalam tabung sahli ( hisap dan tiup beberapa kali ). biarkan 10 menit untuk terbentuknya hematin asam yang sempurna. encerkan larutan hematin asam dengan aquadest tetes demi tetes sambil di aduk sampai warna larutan sama dengan warna batang standart. baca meniskus larutan pada tabung sahli (g% atau g/dl).  metode : cyanmethemoglobin prinsip : Hemoglobin diubah menjadi methemoglobin dalam larutan kalium ferisianida dan di ubah menjadi cyanmethemoglobin oleh larutan kalium sianida dan di baca pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 540 nm. cara kerja : kedalam tabung reaksi di masukkan 5,0 ml larutan drabkin. dengan pipet hemoglobin diambil 20 ml darah EDTA sebelah luar yang pipet di bersihkan, lalu darah itu di masukkan kedalam tabung kolori meter dengan membilasnya beberapa kali. campurlah isi tabung dengan membalikkannya beberapa kali, tindakan ini juga akan menyelenggarakan perubahan hemoglobin menjadi cyanmethemoglobin. diamkan selama 5 menit. bacalah dalam spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. sebagai blanko di gunakan larutan drabkin. kadar Hb ditentukan dengan absorbansi cyanmethemoglobin atauo di baca dari kurvasera. nilai normal : laki - laki : 14-16 g/dl perempuan : 12-14 g/dl
c.Hitung leukosit
Metode : improved neubauer prinsip : darah diencerkan 20x dengan larutan pengencer yang mampu melisiskan sel eritrosit dan trombosit, sel leukosit di hitung di bawah mikroskop dengan lensa 10 x. cara kerja : darah di hisap sampai garis tanda 0,5 lalu hapus kelebihan darah, hisaplah larutan turk perlahan-lahan sampai garis tanda 11, tutup ujung pipet dengan jari, kemudian lepaskan karet penghisap. homogenkan. buang larutan 3-4 tetes, lalu teteskan ke dalam kamar hitung yang sudah terpasang deck glass. periksa di mikroskop lensa 10 x. nilai normal : 4000-10.000/mm3 darah menghitung jenis leukosit nilai normal : basophil : 0-1 % eosinofil : 1-3% N.stab : 2-6% N. segmen : 50-70% lymposit : 20-40% monosit : 2-8 %
d.Pemeriksaan hapusan darah tepi: hitung jumlah dan morfologi eritrosit, leukosit, trombosit.
e. faal hemostasis trombosit: PT/APTT, CT/BT,titer fibrinogen.

Sabtu, 05 Oktober 2013

ELISA PROCEDURES

https://www.youtube.com/watch?v=nNjlBCnpGZ4&feature=youtube_gdata_player

APUSAN DARAH TEPI

PEMBUATAN DAN PEWARNAAN SEDIAAN APUS PEMBUATAN DAN PEWARNAAN SEDIAAN APUS A. Pra Analitik · Persiapan pasien: tidak memerlukan persiapan khusus · Persiapan sampel: - Darah kapiler segar akan memberikan morfologi dan hasil pewarnaan yang optimal pada sediaan apus - Darah EDTA (etilen diamin tetra asetat). EDTA dapat dipakai karena tidak berpengaruh terhadap morfologi eritrosit dan lekosit serta mencegah trombosit bergumpal. Tes sebaiknya dilakukan dalam waktu kurang dari 2 jam. Tiap 1 ul EDTA digunakan untuk 1 ml darah vena · Prinsip tes: Prinsip sediaan apus: dibuat apusan darah pada kaca objek. Prinsip pewarnaan didasarkan pada sifat kimiawi dalam sel. Zat warna yang bersifat asam akan bereaksi dengan komponen sel yang bersifat alkalis, demikian pula sebaliknya. Pewarnaan sediaan apus menggunakan prinsip Romanosky yaitu menggunakan dua zat warna yang berbeda yang terdiri dari Azure B (trimethylthionin)yang bersifat basa dan eosin Y (tetrabromoflourescein) yang bersifat asam seperti yang dianjurkan oleh the International Council for Standardization in Hematology, dan pewarnaan yang dianjurkan adalah Wright-Giemsa dan May Grunwald-Giemsa (MGG). · Alat dan bahan Alat: a. Kaca Objek 25x75 mm b. Batang gelas c. Rak kaca objek d. Pipet Pasteur Bahan/reagen : 1. Metanol absolut dengan kadar air kurang dari 4%, disimpan dalam botol yang tertutup rapat untuk mencegah masuknya uap air dari udara . 2. Zat warna Wright Zat warna Wright ………….. 1 gr Methanol absolut …………….600 ml Penambahan alkohol sedikit demi sedikit, sambil dikocok dengan baik dengan bantuan 10–20 butir gelas. Tutup rapat untuk mencegah penguapan dan disimpan ditempat yang gelap selama 2 – 3 mg, dengan sering-sering dikocok, saring sebelum dipakai. 3. Larutan dapar pH 6,4 Na2HPO4 2,56 g KH2PO4 6,63 g Air suling 1 L Sebagai pengganti larutan dapar, dapat dipakai air suling yang pHnya diatur dengan penambahan tetes demi tetes larutan Kalium bikarbonat 1% atau larutan HCl 1% sampai indikator Brom Thymol Blue ( larutan 0,04 % dalam air suling ) yang ditambahkan mencapai warna biru. 4. Zat warna Giemsa Zat warna giemsa 1g Methanol absolut 10 ml Hangatkan campuran ini sampai 50°C dan biarkan selama 15 menit, kemudian disaring. Sebelum dipakai, campuran ini diencerkan sebanyak 20 x dengan larutan dapar pH 6,6. Untuk mencari parasit malaria, dianjurkan menggunakan larutan dapar pH 7,2 5. Zat warna May - Grunwald Methylene blue dalam methanol 1% eosin dan 1 % methylene blue B. Analitik Cara Membuat Sediaan Apus 1. Dipilih kaca objek yang bertepi rata untuk digunakan sbg “ kaca peng-apus “ sudut kaca objek yang dipatahkan, menurut garis diagonal untuk dapat menghasilkan sedian apus darah yang tidak mencapai tepi kaca objek 2. Satu tetes kecil darah diletakkan pada ± 2 –3 mm dari ujung kaca objek.Kaca penghapus diletakkan dengan sudut 30 – 45 derajat terhadap kaca objek didepan tetes darah. 3. Kaca pengapus ditarik kebelakang sehingga tetes darah , ditunggu sampai darah menyebar pada sudut tersebut. 4. Dengan gerak yang mantap , kaca penghapus didorong sehingga terbentuk apusan darah sepanjang 3 – 4 cm pada kaca objek. Darah harus habis sebelum kaca penghapus mencapai ujung lain dari kaca objek. Apusan darah tidak bolah terlalu tipis atau terlalu tebal, ketebalan ini dapat diatur dengan mengubah sudut antara kedua kaca objek dan kecepatan menggeser. Makin besar sudut atau makin cepat menggeser, maka makin tipis apusan darah yang dihasilkan. 5. Apusan darah dibiarkan mengering di udara. Identitas pasien ditulis pada bagian tebal apusan dengan pensil kaca. Sediaan Yang Baik Mempunyai Ciri – ciri : 1. Tidak melebar sampai tepi kaca objek, panjangnya setengah sampai dua pertiga panjang kaca 2. Mempunyai bagian yang cukup tipis untuk diperiksa, pada bagian itu eritrosit terletak berdekatan tanpa bertumpukan. 3. Rata , tidak berlubang-lubang dan tidak bergaris-garis 4. Mempunyai penyebaran lekosit yang baik, tidak berhimpun pada pinggir-pinggir atau ujung-ujung sediaan Cara Mewarnai Sediaan Apus I. Pewarnaan Wright 1. Letakkan sediaan apus pada dua batang gelas 2. Fiksasi sediaan apus dengan metanol absolut 2 – 3 menit. 3. Genangi sediaan apus dengan zat warna Wright biarkan 3 – 5 menit. 4. Tambahkan larutan dapar tercampur rata dengan zat warna. Biarkan selama 5 – 10 menit. 5. Bilas dengan air ledeng, mula-mula dengan aliran lambat kemudian lebih kuat dengan tujuan menghilangkan semua kelebihan zat warna. Letakkan sediaan hapus dalam rak dalam posisi tegak dan biarkan mengering. II. Pewarnaan Giemsa 1. Letakkan sediaan apus pada dua batang gelas di atas bak tempat pewarnaan. 2. Fiksasi sediaan apus dengan metanol absolut 2 – 3 menit. 3. Genangi sediaan apus dengan zat warna Giemsa yang baru diencerkan. Larutan Giemsa yang dipakai adalah 5%, diencerkan dulu dengan larutan dapar. Biarkan selama 20 – 30 menit. 4. Bilas dengan air ledeng, mula-mula dengan aliran lambat kemudian lebih kuat dengan tujuan menghilangkan semua kelebihan zat warna. Letakkan sediaan hapus dalam rak dalam posisi tegak dan biarkan mengering. III. Pewarnaan May Grunwald – Giemsa (MGG) 1. Letakkan sediaan apus yang telah difiksasi diatas rak pewarnaan 2. Genangi sediaan apus dengan zat warna May Grunwald yang telah siap pakai, biarkan 2 menit 3. Tambahkan larutan buffer pH 6.4 sama banyak dengan larutan MGG yang telah diberikan sebelumnya. Tiup agar larutan dapat tercampur rata dengan zat warna. Biarkan selama 2 menit 4. Bilas dengan air (buang kelebihan zat warna) 5. Genangi dengan larutan Giemsa 5% (larutan buffer pH 6.4 10 ml + Giemsa 0,5 ml) biarkan selama 10-15 menit. 6. Bilas dengan air ledeng , mula-mula dengan aliran lambat kemudian lebih kuat dengan tujuan menghilangkan semua kelebihan zat warna. Letakkan sedian dalam sikap vertikal dan biarkan mengering sendiri. Sumber Kesalahan 1. Kesalahan dalam persiapan penderita, pengambilan dan penyimpanan bahan pemeriksaan 2. Sediaan apus terlalu biru memungkinkan disebabkan oleh apusan yang terlampau tebal , pewarnaan terlalu lama , kurang pencucian , zat warna atau larutan dapar yang alkalis. 3. Sediaan apus terlalu merah mungkin disebabkan oleh sat warna sediaan atau larutan dapar yang asam. Larutan dapar yang terlalu asam dapat menyebabkan lekosit hancur. 4. Bercak-bercak zat warna pada sediaan apus dapat disebabkan oleh zat warna tidak disaring sebelum dipakai atau pewarnaan terlalu lama sehingga zat warna mengering pada sedian. 5. Morfologi sel yang terbaik adalah bila menggunakan darah tepi langsung tanpa anti koagulan. Bila menggunakan anti koagulan sediaan apus harus dibuat segera, tidak lebih dari satu jam setelah pengambilan darah. Penggunaan antikogulan heparin akan menyebabkan latar belakang berwarna biru dan lekosit menggumpal 6. Sediaan hapus yang tidak rata dapat disebabkan oleh kaca pengapus yang tidak bersih atau pinggirannya tidak rata atau oleh kaca objek yang berdebu, berlemak atau bersidik jari. 7. Fiksasi yang tidak baik menyebabkan perubahan morfologi dan warna sediaan. Ini mungkin terjadi apa bila fiksasi dilakukan menggunakan methanol yang tidak absolut karena telah menyerap uap air akibat penyimpanan yang tidak baik. 8. Fiksasi yang tidak dilakukan segera setelah sediaan apus kering dapat mengakibatkan perubahan morfologi lekosit. · Nilai Rujukan: Evaluasi Eritrosit Yang perlu diperhatikan dalam mengevaluasi eritrosit adalah morfologi, perhatikan: - Ukuran (size): Diameter eritrosit yang normal (normositik) adalah 6 – 8 µm atau kurang lebih sama dengan inti limposit kecil - Bentuk (shape): Bentuknya bikonkaf bundar dimana bagian tepi lebih merah daripada bagian sentralnya - Warna (staining): Bagian sentral lebih pucat disebut akromia sentral yang luasnya antara 1/3 -1/2 kali diameter eritrosit - Benda-benda inklusi (structure intracel): - Distribusi : merata Evaluasi Lekosit Lekosit adalah sel berinti. Dalam darah tepi yang paling banyak ditemukan adalah sel polimorfonuklear netrofil (PMN). Jenis lekosit yang normal yang ditemukan dalam darah tepi adalah eosinofil (1% - 3%), bisafil (0-1%), netrofil batang (2%-6%), netrofil segmn atau sel PMN (50%-70%), limfosit (20%-40%) dan monosit (2%-8%). Dalam keadaan normal diperkirakan terdapat 1 lekosit per 500 eritrosit Evaluasi Trombosit Diameter trombosit adalah 1-3 µm, tidak berinti, mempunyai granula dan bentuknya reguler. Perkiraan jumlah trombosit dalam keadaan normal diperkirakan terdapat 1 trombosit per 15 – 20 eritrosit atau 5 – 15 per lapangan pandang imersie C. Pasca Analitik Evaluasi Eritrosit Dengan pemeriksaan ini dapat ditemukan berdasarkan morfologi yakni - Anemia Mikrositik Hipokrom misalnya pada penderita defisiensi Fe. - Anemia Normositik Normokrom misalnya pada pendarahan akut. - Anemia Mikrositik misalnya pada defisiensi Vit. B12 dan asam folat. Bentuk eritrosit hemolisis : - Morfologi secara umum adalah polikromatofilik, makrosit, dansel eritrosit berinti. Bentuk morfologi khusus bervariasi tergantung etiologi kerusakan eritrosit: · Akantosit pada abetalipoproteinemia, sirosis, uremia, Haemolytic Uremic Syndrome (HUS), anemia hemolitik. · Ekinosit pada abetalipoproteinemia, sirosis, uremia HUS, · Sel Target pada Hb C atau E, penyakit hati, ikterus obstruktif, talasemia, pasca splenektomi. · Sel tetes Air Mata pada mielofibrosis, talasemia, anemia hemolitik, mieloftisis. · Sickle Cell pada sickle cell anemia. · Sferosit pada hemolisis didapat maupun herediter. · Ovalosit pada ovalositosis herediter. · Sistosit pada talasemia, anemia hemolitik, mikroangiopati. Distribusi abnormal eritrosit Rouleaux formation pada multipel mieloma, makroglobulinemia Waldenstorm. Benda-benda inkuilis dalam eritrosit - Normoblast pada pendarahan akut, hemolisis berat mielofibrosis, asplenia, leukimia, mieloftsis. - Basophilic Stippling anemia sindroma Mielodisplasia. - Howell Jolly Bodies pada anemia megaloblastik, asplenia, hemolisis berat. - Cabot’s, Ring pada hemolisis berat. - Heinz Bodies pada talasemia, anemia hemolitik karena obat, leukemia - Parasit : plasmodium malaria, biasanya disertai dengan tanda-tanda hemolitik. Evaluasi Lekosit Pada apusan ditemukan tanda infeksi seperti persentase jumlah netrofil, limfosis meningkat, hipersegmentasi, granulasitoksis, dan vacuolisasi sitoplasma. Evaluasi Trombosit Trombositosis dapat ditemukan pada Mieloproliferatif, pendarahan akut, infeksi, penyakit inflamasi, Hodgkin, trombosis vena, post splenektomi. Trombositopenia dapat ditemukan pada : Radiasi eritroleukimia, anemia megaloblastik, giant hemangioma,Thrombotic Purpura (TTP), Disseminated Intravasucular oagulation (DIC), purpura trombositopenia karena obat, pasca tranfusi, SLE, Immunologic, Thrombocytopenia Purpura (ITP) Trombosit besar dapat ditemukan pada: May Hegglin anomaly, Sindroma Mielodisplasia, AML.

PENYAKIT PEMBULUH DARAH

Kelainan, Penyakit, Pembuluh Darah PA- Pembuluh Darah Atherosklerosis Pada kelainan pembuluh darah, hal yang paling ditakutkan adalah terjadinya aterosklerosis dan arteriosklerosis. Arteriosklerosis terjadi karena perubahan pada tunika media yang tadinya berisi otot dan jaringan ikat elastin menjadi kalsifikasi. Ada pun ateroskelirosis ini diakibatkan oleh lemak-lemak yang tersisa dalam pembuluh darah. Komplikasi lanjutannya adalah terjadinya hipertensi dan aneurisma hingga terjadi obstruksi pembuluh darah. Obstruksi ini sering terjadi akibat kelainan di tunika intima oleh lemak tadi, sedangkan hipertensi umumnya dikarenakan kelainan pada tunika media (berupa kalsifikasi). Awal terjadinya atherosclerosis ini bermula dari endotel vascular dan otot polos yang mengalami reaksi denan adanya mediator inflamasi berupa IL-1 dan TNF-α. Namun, kedua mediator ini juga sebenarnya dapat dilepaskan oleh endotel vascular dan otot polo situ sendiri. Proses berikutnya dapat kita lihat melalui rangkaian mekanisme sebagai berikut: disfungsi endotel, akumulasi lipid dalam tunika intima, recruitment dari leukosit dan sel otot polos pada dinding pembuluh, pembentukan foam cell, dan deposisi dari matrix ekstraseluler. Jangan lupa, atherosclerosis dapat disebabkan oleh peradangan yang disebut vaskulitis. Peradangan ini bisa terjadi pada arteri maupun vena. Tahapan tersebut nantinya membentuk beberapa keadaan (nih tak terangin yang dirasa kurang lengkap aja penjelasannya yah…): 1. Fatty Streak Fatty streak menggambarkan pewarnaan kuning pada sisi dalam arteri, tetapi tidak mengganggu baik aliran darah maupun lumen pembuluh. Ia juga dapat berkurang pada beberapa tempat di pembuluh darah pada saat tertentu. Namun, ia dapat muncul di aorta maupun arteri koronaria pada usia 20 tahun. 2. Disfungsi endotel Normalnya, pada aliran laminar terjadi pemberian gaya geser sehingga mengaktifkan endotel agar mensekresi NO yang berguna sebagai vasodilator sekaligus menghambat agregasi platelet. Ia juga mengekspresikan enzim superoxide dismutase sehingga menjadi pelindung terhadap ROS. Oleh karena itu, arteri dengan percabangan sedikit (seperti arteri mamilaris interna) cukup resisten terhadap arterosklerosis, sedangkan arteri karotis komunis dan arteri koronoaria sinistra menjadi tempat dominan terjadinya keadaan tersebut. Disfungsi endotel juga beresiko terjadi pada perokok, kadar lipid abnormal, dan DM. Ketiga resiko ini dapat menimbulkan produksi anion superoksida. 3. Leukocyte recruitment Leukosit yang berperan utama dalam proses ini adalah monosit dan limfosit T. Proses ini akan tergantung pada ekspresi dari leukocyte adhesion molecules (LAM) dan sinyal kemoatraktan seperti monocyte chemotactic protein 1 (MCP-1) dan IL-8 yang mengarahkan terjadinya diapedesis (proses “nyelipnya” leukosit antara endotel). Ada pun LAM yang paling sering terlihat pada proses inflamasi pada plak arterosklerosis adalah gen turunan immunoglobulin (seperti VCAM 1 dan ICAM 1) dan selectin (E-selectin dan P-selectin). Peranan limfosit T di sini adalah penyedia sitokin dalam rangkaian proses inflamasi. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah modified LDL (mLDL) dan sitokin proinflamasi. Mereka dapat menginduksi ekspresi LAM dan sitokin kemoatraktan (chemokine) secara bebas. Namun, mLDL juga dapat menginduksi endotel dan sel otot polos untuk memproduksi sitokin proinflamasi juga. 4. Pembentukan Plak Migrasi otot polis mendominasi pembentukan plak, disamping berlangsungnya pembentukan fatty streak. Plak ini terdiri dari lipid yang dibungkus oleh fibrous cap. Deteksi dengan angiografi masih memungkinkan pada tahap awal, tetapi pada obstruksi yang nantinya terbentuk, perfusi jaringan dapat terganggu sehingga iskemi hingga angina pectoris dapat terjadi. Hati-hati komplikasinya. Jika rupture fibrous capnya, selain menyebabkan rupture pembuluh darah (yang udah dijelaskan), ternyata dapat juga menyebabkan molekul prothrombotic yang tadinya dikuring di dalam plak, menjadi terbuka. Nantinya, hal ini memicu thrombosis akut. Komplikasi lain berupa kalsifikasi, emboli, perdarahan, dan dinding pembuluh melemah. Aneurisma Aneurisma merupakan keadaan dimana dinding pembuluh darah melemah akibat tergantinya dinding pembuluh (elastin dan ototnya diganti menjadi jaringan ikat). Hal ini menyebabkan aneurisma tampak seperti pembuluh yang terdilatasi, tetapi hanya pada sebagian kecil dari pembuluh darah. Ia dapat pecah dengan tiba-tiba, baik pada orang sehat sekalipun. Hati-hati akan aneurisma, terutama di otak (paling sering) karena paling rentan menyebabkan kematian. Aneurisma ini bisa bersifat congenital maupun acquired. Namun, banyak orang yang dapat meninggal mendadak karena pecahnya aneurisma tanpa didahului gejala apa pun. Aneurisma ini sendiri tergantung pada tekanan dan keadaan dinding pembuluh yang mengalami proses repair. Awalnya ia berasal dari luka pada jejas parenkim yang akan digantikan dengan fibrosis saat akan disembuhkan. Jejas parenkim ini selalu menyebabkan proliferasi parenkim yang diikuti dengan proliferasi jaringan ikat sehingga pada jejas pembuluh darah, setiap jaringan otot akan diganti jaringan ikat. Ada beberapa bentuk lain aneurisma: (pisiform dan sapurus? Ini juga g ga kedengeran). Kalo di pathophysiology of heart disease, bentuk ini terbagi menjadi 2: true aneurysm dan pseudoaneurysm. Yang true, dibagi jadi fusiform dan saccular. Fusiform paling umum ditemukan. Cirinya berupa dilatasi simetris pada seluruh segmen aorta, sedangkan yang saccular hanya sebagian. Pseudoaneurisma terbentuknya pecahan dari dinding pembuluh akibat bocornya darah pada dinding pembuluh. Pecahan ini mengandung tunika adventitia atau thrombus perivaskular. Untuk yang satu ini, penyebabnya bisa karena infeksi atau trauma oleh karena pungsi pembuluh darah, atau kateterisasi. Pencegahan pada aneurisma dilakukan dengan menghindari aktivitas yang meningkatkan tekanan darah seperti emosi (marah), tidak mengedan saat BAB, dan lakukan olahraga yang ringan saja. Jangan juga makan yang keras-keras. (Jangan lupa hafalin tempat yang paling rentan terjadinya aneursima. Ada di slide^^) Pada buku yang sama, pathophysiology of heart disease mengatakan bahwa aorta abdominalis menjadi tempat pembentukan aneurisma, diikuti dengan arteri thorakalis, dan arteri perifer dan cerebri. Pada aneurisma di ascending aorta thorakalis (ascending thoracic aortic aneurysm) terjadi nekrosis kistik medial karena proses degenerasi dan fragmentasi dari serat elastin disertai akumulasi material kolagen dan mucoid pada tunika media sebagai akibat penuaan disertai hipertensi maupun sindrom-sindrom herediter (Marfan syndrome dan Ehlers-Danlos Syndrome). Lain halnya dengan descending thoracic aorta dan abdominal aorta, atherosclerosis dan faktor resikonyalah yang menyebabkan aneurisma. Faktor penyebab lainnya berupa ketidakseimbangan sintesis dan degradasi kolagen dan elastin. Adanya CRP dan IL-6 juga menjadi penanda inflamasi yang terkait aneurisma. Ada pun kedua tanda ini menunjukkan ukuran aneurisma. Infeksi akibat Salmonella, stafilokokus, streptococcus, TB, sifilis, dan jamur juga menjadi penyebabnya. Hipertensi Hipertensi erat kaitannya dengan mikroaneurisma di otak (aneurisma pada pembuluh darah kecil di otak). Peningkatan tekanan dan resistensi pembuluh darah menyebabkan perlunya kontraksi kuat untuk mengalirkan darah. Tekanan inilah yang nantinya bisa menekan dinding aneurisma. Faktor lainnya adalah keutuhan dinding sel. Hati-hati menyebabkan hemmorhagic cerebri karena paling sering menyebabkan kematian. Pada benign hypertension, pembuluh darahnya mengalami degenerasi hyaline. Hati-hati jika terjadi di ginjal. Bisa ditemui pada mereka yang DM. Komplikasi dari DM inilah yang memunculkan hyaline atherosclerosis yang dapat berlanjut pada aneurisma akibat melemahnya dinding pembuluh darah tadi. Vasculitis Vaskulitis merupakan radang pada pembuluh darah, baik arteri maupun vena. Pada vena, disebut sebagai thrombophlebitis, sedangkan pada arteri disebut arteritis. Pada vasculitis, seringkali diketahui pada wanita hamil akibat adanya abortus berulang. Hal ini menjadi indikasi dari pemeriksaan ANCA. ANCA inilah yang sering menjadi penyebab (imunologi) kelainan pembuluh darah. Proses peradangan vaskulitis dapat diterangkan sebagai berikut. Ia diawali dari deposisi kompleks imun dan cell-mediated immune response. Kompleks imun memicu aktivasi kaskade komplemen dengan disertai pelepasan kemoatraktan dan anafilatoksin yang mengarahkan neutrofil pada dinding pembuluh disertai peningkatan permeabilitasnya. Terjadilah kerusakan pembuluh oleh karena pelepasan isi lisosom berupa oksigen toksik (radikal bebas). Pada cell-mediated, limfosit T berikatan dengan antigen vaskuler dan melepaskan limfoksin yang menarik limfosit dan makrofag pada dinding pembuluh. Komplikasi lanjutannya dapat berupa IBD (Inflammatory Bowel Disease) maupun paraneoplastic vasculitis. Gejala IBD berupa mencret terus-menerus. Thromboangitis Obliterans (Burger’s Disease) Penyakit ini umum terjadi pada perokok berat yang mengalami mikroabses pada pembuluh darah. Nyeri menjadi gejala utama karena mengenai saraf. Namun, peradangan pada pembuluh darah ini terjadi terus-menerus sehingga harus dipotong pada posisi yang semakin proksimal. Varises Varises terjadi pada orang yang berdiri dalam waktu lama. Varises ditandai dengan pembesaran dinding vena oleh karena katup dan dinding vena yang lemah sehingga darah dari kaki gagal naik ke atas. Ada kemungkinan juga disebabkan secara congenital. Paling banyak terjadi pada perempuan. Hati-hati jika ia infeksi, pecah, dan menjadi ulkus. Varises ini seringkali terjadi pada vena saphenous serta percabangannya. Namun ia juga dapat muncul di area anorektal (hemorrhoid), vena esophagus bawah (esophageal varices), dan spermatic cord (varicocele). Pada varises primer, perbesaran vena memang berasal dari daerah superficial akibat kehamilan, obesitas, dan lama berdiri. Dengan adanya kelemahan pada dinding pembuluh, orang hamil dan mereka yang lama berdiri dapat menyebabkan varises. Pada orang obesitas, banyaknya jaringan adipose di sekitar dinding pembuluh menyebabkan kurangnya dukungan terhadap vena jika dibandingkan dengan massa lainnya. Lain halnya dengan varises sekunder, penyebabnya merupakan kelainan pada vena bagian dalam yang berujung pada varises superficial. Vena dalam ini bisa saja mengalami obstruksi atau insufisiensi. Gejala yang sering timbul berupa nyeri yang diffuse (dull ache), rasa berat, atau ada sensasi tekanan di kaki. Jika katupnya abnormal, biasanya terjadi pembengkakan dan ulserasi pada kulit yang parah di dekat mata kaki. Thrombophlebitis (sumber: rekaman kuliah) Radang terjadi pada vena, terutama vena permukaan. Thrombophlebitis ini sendiri dapat berasal dari varises yang mengalami infeksi. Varises terinfeksi ini dapat pecah dan menimbulkan ulkus. Ulkus inilah yang membentuk thrombophlebitis. Selain itu, thrombus juga dapat menyebabkan thrombophlebitis pada peradangan. Isi dari thrombus ini berupa platelet dan fibrin. Perubahan pada dinding pembuluh darah nantinya dapat mencakup infiltrasi garnulosit, kehilangan endotel, dan edema. Phlebothrombosis (sumber: rekaman kuliah) Sama seperti thrombophlebitis, kecuali letak vena yang terkena. Vena yang mengalami radang terletak di bagian dalam, bisa terjadi di kaki. Trombosis juga menjadi etiologinya. Phlebothrombosis ini paling berbahaya karena bisa menyebabkan emboli paru. Kembali diingatkan, emboli merupakan sumbatan pada pembuluh darah, tetapi ia masih dapat bergerak. Pada Phlebothrombosis, emboli paru dapat terjadi. Penyakit ini sendiri ini sering terjadi pada pasien pasca operasi. Dibandingkan thrombophlebitis, phlebothrombosis paling sering terjadi. Hemangioma Hemangioma ditandai dengan warna merah di daerah kepala. Hal ini masih dapat dianggap normal pada anak kurang dari 2 tahun yang nantinya dapat hilang. Namun, jika lebih dari 2 tahun, kecurigaan terhadap hemangioma dapat ditegakkan. Hemangioma sendiri merupakan tumor jinak. Menurut Braunwald’s Heart Disease, hemangioma dapat muncul pada beragam usia, tanpa gejala, dan berpotensi untuk muncul berulang. Penyebabnya masih belum dapat diketahui. Pada keadaan simptomatik, pasien dapat mengalami aritmia, gagal jantung kongestif, emboli cerebral, efusi pericardium, hingga kematian mendadak. Deteksi yang sensitive berupa penggunaan echocardiography maupun coronary angiography. Kemunculannya lebih sering terjadi di ventrikel dibandingkan atrium. Secara histologist, ia tidak memperlihatkan adanya nekrosis, inti atipik, maupun aktivitas mitosis. 3 tipe klasifikasi histopatologinya antara lain: 1. Hemangioma Kavernosa Berisi banyak pembuluh darah, baik yang berdinding tebal maupun tipis. Aliran darahnya yang lambat menyebabkan tidak munculnya gambaran jelas dari hemangioma meskipun menggunakan kontras. 2. Hemangioma Kapiler Terbentuknya pembuluh kapiler kecil dengan komposisi lobules dari sel endotel 3. Atriovenous hemangioma Terdiri dari arteri displastik berdinding tebal, vena, dan kapiler. Angiosarcoma (Menurut Braunwald’s lagi…) Angiosarcoma merupakan tumor jantung paling umum yang bisa ditemui pada kebanyakan orang berusia 30-50 tahun meski dijumpai variasi antara umur 2-80 tahun. Pria paling sering mengidapnya. Gejala umumnya berupa dyspnea, nyeri dada, murmur, aritmia, sindrom vena cava superior, dan terbukti adanya gagal jantung kongestif. Baik pemeriksaan EKG maupun radiologi, tidak ada gambaran spesifiknya (penjelasannya baca sendiri yah, g lihat ga penting2 soalny). Pemeriksaan yang lebih sensitive menggunakan echo-guided cardiac biopsy, meski masih perlu dibantu dengan biopsy pada tempat metastasis lainnya untuk mengkonfirmasi.

Penyakit terkait ANCA

Penyakit Terkait dengan ANCA Kehadiran ANCA terutama terkait dengan gangguan necrotizing Granulomatosis, dan pauci-imun vaskulitis nekrosis. Gangguan ini target ginjal serta jaringan lainnya. Gangguan autoimun yang masuk dalam klasifikasi ini meliputi Wegener granulomatosis; poliarteritis necrotizing mikroskopis; sistemik vaskulitis, Churg-Strauss syndrome , obat-induced vaskulitis (terkait dengan methimazole, propylthiouracil dan hydralazine); hepatitis autoimun, dan penyakit inflamasi usus. Gangguan vaskulitis yang berhubungan dengan ANCA disebut ANCA terkait vaskulitid. P-ANCA terlihat di Churg-Strauss sindrom Kawasaki sindrom raksasa-sel arteritis; glomerulus membran penyakit basement; glomerulonefritis progresif cepat; poliarteritis nodosa (PAN); penyakit radang usus termasuk penyakit Crohn; primary sclerosing cholangitis, rheumatoid arthritis, dan obat vaskulitis-diinduksi. Reaksi positif non-spesifik atau palsu yang paling umum dalam tes immunofluorescent untuk P-ANCA. Untuk alasan ini sekitar 17 persen pasien, terutama pasien muda dengan arthritis remaja, menunjukkan adanya P-ANCA meskipun ini umumnya dianggap reaksi positif palsu. Demikian pula, P-ANCA terdeteksi dalam gangguan hati primer sclerosing cholangitis dan hepatitis autoimun memiliki pola (atipikal) pewarnaan lengkap. Di beberapa laboratorium, di mana diferensiasi dibuat dan atipikal P-ANCA dilaporkan, informasi ini sangat membantu dalam diagnosis. C-ANCA terlihat di poliarteritis mikroskopis, Wegener granulomatosis, Henoch-Schonlein purpura, Churg-Strauss syndrome, sindrom Kawasaki, poliarteritis nodosa, dan penyakit glomerular basement membran. C-ANCA terlihat pada hingga 85 persen pasien dengan Wegener granulomatosis dan vaskulitis. Meskipun temuan ini kontroversial, beberapa peneliti melaporkan bahwa tingkat atau titer C-ANCA aktivitas penyakit paralel dan dapat digunakan untuk mengevaluasi perkembangan penyakit serta respon pengobatan. Peneliti lain merasa bahwa hasilnya dapat menyesatkan dan bahwa gejala lebih relevan untuk mengevaluasi respon pengobatan dan perkembangan penyakit (Schmitt et al.) Penyakit glomerular Terkait dengan ANCA Glomerular penyakit (glomerulonefritis) adalah ginjal (ginjal) gangguan yang mempengaruhi suplai darah dari tubulus ginjal. Hal ini mengakibatkan hilangnya unit fungsional yang lengkap yang disebut nefron. Hal ini menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk membersihkan produk dari metabolisme protein, yang menyebabkan peningkatan kadar urea nitrogen darah (BUN) dan kondisi yang dikenal sebagai sindrom uremik. Jenis yang paling umum glomerulonefritis adalah nefropati IgA di mana deposito dari protein imunoglobulin A mengganggu fungsi ginjal. Glomerulonefritis Progresif Cepat (RPGN) adalah sekelompok heterogen gangguan ginjal progresif cepat yang dapat menyebabkan gagal ginjal hanya dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Sindrom ini ditandai dengan nekrosis fokal glomerulonefritis dan pembentukan bulan sabit dalam kapsul ginjal Bowman. Kelimpahan sel epitel dan sel darah putih yang dikenal sebagai makrofag memampatkan glomerulus pada ginjal dan menghambat tubulus proksimal berbelit-belit, yang kompromi fungsi ginjal. RPGN dapat berupa autoimun di alam atau dapat terjadi sebagai kondisi sekunder terkait dengan penyakit infeksi atau sebagai penyakit sekunder dengan kondisi lain, atau sebagai reaksi yang merugikan terhadap obat, termasuk reaksi langka untuk obat anti-tiroid. Anti-glomerular basement membran (GBM) antibodi dapat hadir dan sampai 80 persen pasien menunjukkan adanya ANCA dengan atau tanpa vaskulitis yang menyertainya. Sumber Wilhelm H. Schmitt; Fokko J. van der Woude. 2004. ” Aplikasi klinis Pengujian Antibodi sitoplasmik antineutrofil ” Berita Medscape. Tietz Buku teks Kimia Klinik dan Diagnostik Molekuler, 2006. Philadelphia: Elsevier Ilmu Kesehatan Pusat.

HBsAg Test dengan ICT

Pengembangan Alat Diagnostik HBsAg Berdasarkan Metode Imunokromatografi Pendahuluan Infeksi virus hepatitis B adalah salah satu hepatitis yang tersering ditemukan dan merupakan problem kesehatan masyarakat yang besar di dunia. Pada saat ini diperkirakan terdapat 350 juta pengidap hepatitis B di dunia dan tiga perempat dari mereka (78%) berada di negara Asia Tenggara termasuk Indonesia (WHO, 1987). Di Indonesia hepatitis merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit infeksi dan paru dengan jumlah penderita mencapai ± 40 juta. Rapid test merupakan uji kromatografi immunoassay dengan menggunakan metode “direct sandwich”. Prinsip dasar rapid test adalah pengikatan antigen oleh antibodi monoklonal yang spesifik. Salah satu jenis rapid tes yang banyak digunakan adalah alat diagnostik berupa stik uji untuk mendeteksi keberadaan antigen atau pun antibody dalam sampel berupa darah, plasma atau serum. Stik uji ini mirip dengan stik kehamilan yang menggunakan prinsip imunokromatografi yang telah banyak digunakan dan beredar di masyarakat. Secara umum metode Imunokromatografi untuk mendeteksi sebuah spesimen dengan menggunakan dua antibodi. Antibodi pertama berada dalam larutan uji atau sebagian terdapat pada membran berpori dari alat uji. Antibodi ini dilabeli dengan lateks partikel atau partikel koloid emas (antibody berlabel). Keberadaan antigen akan dikenali oleh antibody berlabel dengan membentuk ikatan antigen-antibodi . komplek ikatan ini kemudian akan mengalir karena adanya kapilaritas menuju penyerap, yang terbuat dari kertas penyaring. Selama aliran, kompleks ini akan dideteksi dan diikat oleh antibody kedua yang terdapat pada membran berpori, sehingga terdapat komplek pada daerah deteksi pada membran yang menunjukkan hasil uji. Immunochromatography test (ICT) HBsAg merupakan uji imunokromatografi yang dapat mendeteksi antigen yang terdapat pada serum atau plasma. Prinsip dasarnya adalah adanya pengikatan antara antigen (HBsAG) dengan antibody (anti-HBs) pada daerah test line, selanjutnya antibody akan berikatan dengan colloidal gold-labeled conjugate. Komplek yang terbentuk akan bergerak pada membran nitroselulosa. Deteksi antigen dengan menggunakan metode ini memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan metode yang lain seperti ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay), RIA-IRMA dan lain-lain. Kelebihan metode ini adalah waktu yang diperlukan untuk pengujian relatif singkat sekitar 2-10 menit dan hasil uji dapat dilihat secara langsung. Pengujian dengan metode ini juga dapat dilakukan oleh setiap orang karena tidak memerlukan ketrampilan khusus seperti halnya dalam uji ELISA. Selain itu, metode ini dapat dijadikan sebagai pemeriksaan awal (screening test) untuk uji kualitatif dan dapat dikerjakan langsung di lapangan karena merupakan alat uji yang sederhana. Walaupun, metode ini lebih sederhana dan mudah dibandingkan metode lainnya, akan tetapi memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi terhadap antigen. Riset dan Pengembangan Penelitian tentang pembuatan alat diagnostik yang praktis berdasarkan metode imunokromatografi terhadap HBsAg telah banyak dilakukan dan dikembangkan. Penelitian ini meliputi penelitian pembuatan antibody monoklonal yang spesifik terhadap HBsAg, uji sensitivitas dan uji spesifisitas. Penelitian ini sangat diperlukan untuk membandingkan strip HBsAg yang dikembangkan dengan alat diagnostic lainnya yang beredar di pasaran. Pembuatan antibodi monoklonal Pembuatan antibodi monoklonal dilakukan berdasarkan teknologi hibridoma dengan menggunakan hewan coba berupa tikus atau kelinci. Langkah-langkah dalam pembuatan antibody monoklonal seperti pada gambar di bawah ini: Alur pembuatan antibodi monoklonal Antigen disuntikkan pada hewan coba dengan harapan hewan coba membentuk antibodi terhadap antigen yang disuntikkan. Darah dari hewan coba kemudian disentrifugasi untuk memisahkan plasma darah dengan serum. Serum yang didapatkan mengandung antibody terhadap antigen, akan tetapi antibody yang dihasilkan merupakan antibody poliklonal. Sel limfosit dari hewan coba yang telah disuntik antigen kemudian diambil dan difusikan dengan sel myeloma sehingga terbentuklah sel hibridoma. Sel hibridoma ini kemudian diklon sehingga didapatkan antibody monoklonal yang spesifik terhadap antigen. Uji Sensitivitas dan Uji Spesifisitas Uji sensitivitas dan uji spesifisitas alat diagnostic sangat penting dilakukan untuk mengetahui kualitas alat diagnostic yang dikembangkan. Uji sensitivitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan suatu alat diagnostic dalam mendeteksi keberadaan suatu senyawa, dalam hal ini HBsAg. Begitu pula halnya dengan uji spesifisitas. Uji ini dilakukan untuk mengetahui tingkat spesifikasi alat diagnostic dalam mendeteksi suatu senyawa (antigen) tertentu. Tahapan Pengembangan Produksi (Scalling Up) Prototype strip diagnostik yang telah melalui uji kelayakan akan menjalani pengembangan proses (scalling up). Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan scale up adalah faktor-faktor yang berubah secara mekanik maupun fisik dengan adanya scale up yang dapat menurunkan sensitivitas dan spesifisitas produk. Tahapan Proses Produksi HBsAg strip Membran nitroselulosa Membrane nitroselulosa dengan pori-pori 8 μm disemprot membentuk garis dengan antibody monoklonal dengan konsentrasi 0,4 mg/ml menggunakan mesin semprot (garis pertama). Selanjutnya, sejajar dengan garis pertama dibentuk garis kedua dari anti-immunoglobulin kelinci (IgG) dengan konsentrasi 0,2 mg/ml. Membrane kemudian dikeringkan selama 30 menit sebelum direndam ke dalam larutan penyangga selama 1 menit. Setelah perendaman, membrane dikeringkan kembali selama 60 menit pada suhu 37°C. Matrik konjugat Lapisan selanjutnya berupa matriks berpori yang disemprot dengan campuran dari antigen dan konjugat (antibodi monoklonal-koloid emas). Lapisan ini kemudian dikeringkan pada suhu 37°C selama 2 jam. Perakitan Matrik berpori digabungkan dengan lembaran yang mengandung membrane nitroselulosa dan pada salah satu ujungnya. Lembaran kemudian dipotong menjadi strip dengan ukuran 5-6 mm. Referensi Peng, F., Z. Wang, S. Zhang, R. Wu, S. Hu, Z. Li, X. Wang, dan D. Bi. 2008. Development of an Immunochromatographic Strip for Rapid Detection of H9 Subtype Avian Influenza Viruses. Clinical dan Vaccine Immunology : 569-574. Shyu, Rong-Hwa, Huey-Fen Hsyu, Hwan-Wun Liu and Shiao-Shek Tang. 2002. Colloidal gold-based immunochromatographic assay for detection of ricin. Toxicon 40: 255-258. Ward, P.A., J. Adams, D. Faustman, G.F. Gebhart, J.G. Geistfeld, J.W. Imbaratto, N.C. Peterson, F. Quimby, A. Marshak-Rothstein, A.N. Rowan, and M.D. Scharff. 1999. Monoclonal Antibody Production. National Academy Press. Washington DC. Yu-Huei Lin, Yu-Hue, Yi Wang, A. Loua, Gwo-Jen Day, Yan Qiu, E.C.B. Nadala Jr., Jean-Pierre Allain, and H.H. Lee. 2008. Evaluation of a New Hepatitis B Virus Surface Antigen Rapid Test with Improved Sensitivity. Journal of Clinical Microbiology Vol. 46, No. 10: 3319-3324.

ICT TEST FOR INFECTIOUS EYE

Successful Development of World's First High-sensitivity Immunochromatographic Test Kit Using Fluorescent Silica Nanoparticle - Simple and quick test for infectious eye disease (Acanthamoeba keratitis) is realized - July 9, 2013 Furukawa Electric Co., Ltd. has developed the world's first simplified quick test, resulting from the development of a fluorescent silica nanoparticle (Quartz Dot)(note 1). The nanoparticle has been applied for fluorescent immunochromatographic technology for extracorporeal diagnosis to enable high-sensitivity detection of Acanthamoeba(note 2), a form of bacteria that contributes to eye infection. In the course of joint clinical research with Prof. Yuichi Ohashi from the Department of Ophthalmology, School of Medicine, Ehime University, this test has been found to be fast (determination is completed within 30 minutes) and also exhibit performance equivalent or superior to conventional incubation-based tests. The achievements will be presented jointly with Ehime University at the 50th Annual Meeting of the Japanese Association for Ocular Infection (Foursome 2013 Osaka) scheduled to begin July 12. As a materials manufacturer, Furukawa Electric engages in nanoparticle development as part of original material development based on material strength. Among these pursuits, silica nanoparticle shows excellent biocompatibility and stability. Therefore, Furukawa Electric has developed Quartz Dot, its unique nanoparticle that contains fluorescent dye. A simple portable observation device (fluorescent scope) and a quantitative fluorophotometer have also been developed for simplifying and quantifying testing. This has enabled development of a fluorescent immunochromatographic test kit with 100 times the sensitivity of the old immunochromatography. Clinical research accompanying the test confirmed the efficacy. Currently, a discussion on extracorporeal diagnostics is underway with several diagnostic manufacturers. Making the best of past results, Furukawa Electric will speed up the development to market Quartz Dot at an early stage and offer related products. Background of development Quartz Dot consists of fluorescent dye stably fixed inside a nano-sized silica particle, which was developed by combining Furukawa Electric's unique particle synthesis technology and optical technology, and functional groups with connectivity with protein, etc. placed on the particle's surface. Its forte is its broad usage in the life sciences. As the first application of Quartz Dot, Furukawa Electric has undertaken development of high-sensitivity immunochromatography technology, focusing attention on the point-of-care testing (POCT)(note 3) field, in which there is growing demand. On the other hand, the eye infection field faces an important challenge in that early diagnosis of Acanthamoeba (Ac) keratitis is needed since it has increased with the popularization of contact lenses as an intractable corneal infection. To date, diagnosis of the disease has employed such tests as microscopy of corneal scraping, the incubation method and polymerase chain reaction (PCR) test. However, clinical practice has hoped for a simple and quick test that does not require any advanced skills or special equipment. Conventional immunochromatography based on gold colloid particles also has a problem of poor sensitivity. Under such circumstances, Furukawa Electric set out to develop fluorescent immunochromatography technology boasting high sensitivity and also entered into joint clinical research with Ehime University. Description of developed product The developed product takes the same device form as an ordinary immunochromatography kit, consisting of Quartz Dot, a test strip and extracted liquid. To perform a test, a sample treated with extracted liquid and Quartz Dot are mixed, the mixed liquid is delivered by drops at the edge of the test strip, and fluorescent emission is observed with a fluorescent scope for detection. Overview of test strip Test kit configuration Quartz Dot Test strip Fluorescent scope Notes (note 1)Quartz Dot: Quartz Dot is a fluorescent silica nanoparticle containing a high concentration of organic dye molecules, boasting (1) higher brightness than old fluorescent reagents, (2) no harmful properties, and (3) high hydrophilic property and high compatibility with biological molecules. There are 53 pending patents and 21 registered patents in connection with Quartz Dot.Back to Main Content (note 2)Acanthamoeba: Acanthamoeba is a protist living in soil and water. This amoeba may contaminate contact lens preservative solution and containers. Acanthamoeba does not affect healthy people in normal cases, but if the cornea is damaged and a contaminated contact lens is used, the person will be infected and develop Acanthamoeba keratitis. While it progresses very slowly, Acanthamoeba keratitis characteristically causes much more intense pain and still severer congestive symptoms in the white of the eye compared with other eye infections. The initial stages show a low degree of loss of visual acuity and eyesight will gradually weaken. Progression will results in severe visual disability. For a diagnostic test, the affected site of the cornea is scraped to detect Acanthamoeba. It is a problem that this examination is difficult even for large-scale general hospitals. The disease is commonly treated with antifungal drugs since there are no specific remedies for Acanthamoeba. The surface of the affected cornea may at times also need abrading. A complete cure may take several months.Back to Main Content (note 3)POCT: POCT is a test that a medical professional performs near a patient. It allows a physician to judge test results quickly, provides a prompt procedure and also monitors treatment process and prognosis. POCT receives particular attention because it is expected to improve the quality of medical examinations.